JAJA ZARKASYI S.TH.I. Kepala Seksi Bina Kelembagaan KUA Dirjen Bima Islam Kementerian Agama |
Ibarat bayi, Kantor Urusan Agama (KUA) telah mengalami pertumbuhan seiring dengan perjalanan waktu. Jatuh dan bangun pernah dirasakan saat usia teru menanjak, pun tak lepas dari tantangan dan rintangan yang setiap saat kadang membuatnya ragu untuk melakukan perubahan. Walhasil, KUA kini telah masuk usia yang tak lagi muda.
Celakanya, KUA kini harus berada di dunia modern, dunia yang mengedepankan teknologi dalam setiap aktifitas, dunia yang selalu menunut segalanya serba mudah, cepat dan murah. Pertanyannya, apakah KUA telah siap merespon berbagai perubahan zaman yang tak terhindarkan? Sejauhmanakah KUA merespon perubahan modernitas?
Pertanyaan tersebut sangat sering saya dengar dari beberapa sahabat dan kolega, mengingat image “anti modernitas” yang terlanjur melekat pada KUA.
Kaum milenial, generasi zaman now, begitulah sebutan untuk zaman kita saat ini. Bagi mereka, tentu tak lagi dapat membayangkan jika pelayanan dan kualitas tata kelola administrasi dilakukan secara manual, berbasis paper, ditulis dalam buku. Generais milenial menuntut pelayanan yang serba teknologi, transparan dan murah.
Karena itulah, ketika mendengar “KUA Paradigma Baru”, mereka pun bertanya, apa yang baru dengan KUA? Apa yang menjadi pembeda dengan KUA dua puluh tahun ke belakang?
Apalagi dengan berbagai rumor soal “amplop” penghulu yang pernah booming, tentunya istilah KUA Baru ibarat petir di siang bolong, ujug-ujug (tiba-tiba-b. Sunda) mengaku sebagai entitas baru dengan spirit perubahan. Tentunya masih banyak catatan “keraguan” tentang perubahan yang kini terjadi di KUA.
Paradigma Kelembagaan
Perubahan paradigma kelembagaan KUA dimulai dengan restruktrisasi organsiasi. Adalah Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 34 Tahun 2016 tentang struktur KUA menjadi penanda restrukturisasi kelembagaan KUA. Terdapat tiga poin penting restrukturisasi dimaksud, yaitu 1) pembatasan jabatan kepala KUA, 2) jabatan fungsional penyuluh berada di bawah kendali kepala KUA dan 3) merinci tugas layanan di luar pencatatan nikah, yaitu pelayanan bimbingan wakaf dan zakat, hisab rukyat dan pembinaan syariah, dan penerangan agama Islam, serta bimbingan manasik haji.
Pembatasan jabatan kepala KUA ditegaskan melalui Keputusan Dirjen Bimas Islam nomor 916 tahun 2017, dimana ditegaskan bahwa jabatan kepala KUA adalah 4 (empat) tahun dan dapat diperpanjang satu periode jika dipandang memiliki prestasi. Ketentuan ini mengecualikan bagi daerah yang tidak memiliki SDM yang mencukupi.
Pembatasan ini membuka opsi regenerasi kepala KUA yang dijabat para penghulu. Jabatan Kepala KUA selama ini seakan-akan sebagai jabatan abadi, bahkan hingga menjelang pensiun. Tentunya hal ini sangat tidak baik untuk keseimbangan kelembagaan KUA. Jika pembatasan ini tidak ada, maka akan tersumbat proses regenerasi KUA dan ini menjadi penanda kurang baik bagi sebuah organsiasi yang menyelenggarakan layanan publik.
Pembatasan dan spirit regenerasi tentunya sejalan dengan perubahan paradigma pelayanan KUA di luar tugas pencatatan nikah. Pelayanan wakaf misalnya, yang meliputi penyuluhan dan pencatatan ikrar wakaf, merupakan contoh nyata perubahan paradigma pelayanan KUA. Kepala KUA merupakan pejabat yang mencatat dan mengelurkan Akta Ikrar Wakaf (AIW) yang merupakan syarat pembuatan sertifikas di BPN.
Di sisi lain, keberadaan Penyuluh Agama Islam, baik fungsional maupun honorer, kini berada dalam komando kepala KUA. Sebelumnya, garis komando penyuluh langsung berada di bawah kendali kepala Seksi Bimas Islam Kabupaten. Hal ini tentu menjadi problem, mengingat tidak ada kewenangan dan garis koordinasi antara KUA dan penyuluh, sementara wilayah pelayanan penyuluhan berada di bawha kendali kepala KUA. Maka, dengan masuknya penyuluh dalam garis komando kepala KUA akan memudahkan koordinasi penyuluhan keagamaan yang berada di bawah kewenangan KUA.
Bahkan, keberadaan penyuluh di bawah koordinasi KUA menambah opsi SDM yang selama ini kerak menggangu kinerja KUA. Para penyuluh dapat berbagi peran pelayanan, saling menutupi kekurangan SDM dan tentunya sangat positif bagi kualitas layanan publik.
Restrukturisasi kelembagaan KUA merupakan langkah penting menghadirkan kualitas layanan publik yang lebih baik. Karena restrukturisasi tidak hanya menghadirkan suasana baru, namun juga membuka kompetisi yang lebih sehat bagi SDM KUA untuk mewujudkan layanan publik.
Perubahan Partisipasipatoris
Terdapat satu budaya baru yang kini menjaid identitas penting perubahan KUA, yaitu partisipasi. Perubahan KUA tidak hanya digaungkan, diundangkan dan diawasi. Hal penting adalah bagaimana melibatkan aparatur KUA dalam perubahan dimaksud, membangun kesadaran bersama pentingnya merubah paradigma KUA dengan spirit pelayanan prima. Dalam konteks inilah, aparatur KUA terlibat langsung dalam perubahan dimaksud.
Terbukanya kran partisipasi tersebut dibuktikan dengan semakin banyaknya inovasi yang lahir dari KUA itu sendiri. Secara bertahap, KUA kini lebih berani menyuarakan ide dan gagasan, membangun komunitas perubahan dan menyampaikannya secara terstruktur.
Kota Yogyakarta dengan KUA Kecamatan Tempel misalnya, menjadi role model kemitraan dengan BAZNAS dan lembaga lain khususnya dalam perberdayaan ekonomi. Begitu pula dengan KUA Kecamatan Tandes, Kota Surabaya, sejak tiga tahun telah bermitra untuk mensosialisasikan bimbingan pernikahan bagi remaja usia nikah.
Lainnya halnya dengan KUA Kecamatan Tegal Selatan, Jawa Tengah dan KUA Kecamatan Marawola, Sigi, Sulawesi Tengah. Keduanya melakukan terobosan dengan melakukan layanan satu atap pendaftaran dan pembayaran biaya nikah. Di kedua KUA tersebut calon pengantin (catin) cukup datang di KUA untuk menyelesaikan proses pendaftaran dan pembayaran biaya nikah. Catin tak perlu lagi haru bolak balik KUA-Bank persepsi untuk menuntaskan biaya pendaftaran, semuanya dapat dilakukan di satu tempat.
Tentang kerukunan, kita bisa mencontoh apa yang dilakukan KUA Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo, NTT. Di sana KUA bukan sekedar mencatat penrnikahan, namun juga sebagai simbol toleransi antar umat beragama.
Lainnya halnya dengan Samanto dan Bakri, dua sosok yang telah menegaskan integritas KUA. Keduanya adalah sosok yang rajin melaporkan gratifikasi ke KPK dan hal tersbeut dipublikasikan langsung oleh komisi anti rasuah ini.
Partisipasi aparatur KUA telah menghadirkan suasana baru, yaitu spirit perubahan. Inilah poin penting yang menjadi penentu keberhasilan perubahan di KUA. Tanpa partisipasi, tentunya berbagai regulasi dan kebijakan tak akan mampu merubah wajah KUA lebih baik.
Membuka kran partisipasi adalah strategi penting yang telah diambil oleh Ditjen Bimas Islam dalam mendukung transformasi KUA sebagai lembaga yang transparan dan akuntabel.
Momentum Tepat
Perubahan paradigma KUA telah menemukan momentumnya saat ini. Secara kelembagaan, dukungan untuk memperkuat peran KUA terus menguat, baik dari legislatif maupun eksekutif. Semua sepakat bahwa kehadiran negara untuk KUA perlu diperluas dan diperkuat, agar pelayanan keagamaan dapat alngsung diraskaan oleh masyarakat.
Kedudukan KUA di kecamatan menambah nilai strategis untuk penguatan layanan maupun bimbingan keagamaan. Sesungguhnya ketahanan negara diawali dengan kuatnya kerukunan di simpul-simpul terbawah, yaitu desa. Maka KUA dengan SDM dan kewenangan yang dimiliknya adalah yang paling sering dan terdepan melayani dan membimbing masyarakat di desa-desa.
Momentum perubahan tersebut juga direspon cepat oleh aparatur KUA. Mereka tidak hanya mahir melayani pencatatan nikah dan lainnya, namun juga melek teknologi dan banyak berselancar di media sosial. Media sosial ibarat jembatan yang telah menyambungkan ide-ide brilian aparatur KUA, karena itulah kini sangat mudah dijumpai ide dan terobosan yang dilakukan KUA. Bahkan antar KUA oun bisa saling mengakses satu dengan yang lainnya, sharing pengalaman dan pencapaian.
Momentum ini harus dirawat agar tidak luntur atau terbang ibarat debu di jalanan. Menjaga integritas adalah jawaban untuk alasan agar perubahan KUA terus terjaga semangatnya, mendapat dukungan luas dari berbagai pihak. Karena itulah, aparatur KUA tidak boleh melakukan tindakan yang dapat merusak kepercayaan ini. Jika kepercayaan tersebut dicederai dengan berbagai pelanggaran disiplin, momentum perubahan tersebut bisa saja akan kehilangan dukungan dan momentumnya.
Beberapa Catatan Pebaikan
Tentunya, berbagai gambaran perubahan KUA tidak berarti bahwa telah mencapai kesempurnaan. Penguatan langkah perubahan KUA juga harus disertai dengan kebijakan yang berkesinambungan dan berdampak luas terhadap perbaikan KUA.
Dalam catatan saya, terdapat tiga poin penting yang harus kiat perkuat demi mendorong perubahan KUA yang lebih baik di masa mendatang. Pertama, peningkatan dana operasional KUA. Dengan jumlah BOP sebesar Rp. 3.000.000, angka tersebut belum cukup untuk mendukung seluruh layanan KUA. Pada tahun 2018 dan selanjutnya, opsi penambahan dana operasional telah menjadi prioritas.
Kedua, pemetaan SDM KUA. Tentunya, menjadikan layanan KUA yang ideal perlu didukung ketersediaan SDM yang cukup. Jika merujuk pada KMA 34 Tahun 2016, SDM KUA minimal diisi oleh Kepala KUA, petugas tata usaha, jabatan fungsional penghulu dan penyuluh, dan pengadministrasi. Data menunjukan masih terdapat KUA yang berstatus “striker tunggal” alias sendirian menjadi aparat KUA. Penyediaan SDM KUA dalam lima tahun ke depan menjadi sebuah keniscyaan yang akan dituangakn dalam Renstra.
Ketiga, penguatan sistem tata kelola administrasi. Digititalisasi dokumen pencatatan nikah misalnya, kini tidak zamannya lagi harus menumpuk dalam lemari. Begitu pula, pencatatan pendaftaran nikah tak lagi dilakukan dalam kertas. Kehadiran SIMKAH versi terbaru diharapkan mampu meningkatkakan kualitas tata kelola administrasi KUA.
Bersama menjaga momentum perubahan KUA adalah sebuah keniscayaan, bagi seluruh pemangku kepentingan di setiap level. Karena momentum terkadang tidak datang dua kali. Wallahu a’lam bishowab.
0 komentar:
Posting Komentar